it's about me

Foto saya
i was an ordinary woman who tried to be a remarkable woman

Jumat, 20 Mei 2011

MONOPOLI

SUMBER

Judul Buku : Hukum Persaingan Usaha di Indonesia
Penulis : Rachmadi Usman, S.H.
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2004
Kota : Jakarta

Dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, pengertian monopoli dibedakan dari pengertian praktik monopoli.

Dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 5 Tahun 1999 :

Praktik Monopoli yaitu pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu, sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Dalam pasal 1 angka 1 UU Nomor 5 Tahun 1999 :

Monopoli yaitu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

Dari ketentuan Pasal 17 UU Nomor 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan, ternyata tidak semua kegiatan monopoli dilarang. Hanya kegiatan monopoli yang memenuhi unsur dan kriteria yang disebutkan dalam Pasal 17 UU nomor 5 Tahun 1999 saja yang dilarang dilakukan oleh salah satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha. Pasal 17 Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan :

1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini apabila

a. Barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau

b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau

c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Monopoli yang dilarang dalam Pasal 17 ini jika monopoli tersebut memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. Melakukan kegiatan penguasaan atas produk barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu;

b. Melakukan kegiatan penguasaan atas pemasaran produk barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu;

c. Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli;

d. Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Sedangkan kriteria yang digunakan untuk membuktikan ada atau tidaknya monopoli yang dilarang tersebut didasarkan atas pada :

a. Produk barang , jasa, atau barang dan jasa tersebut belum ada penggantinya (substitusinya);

b. Pelaku usaha lain sulit atau tidak dapat masuk ke dalam persaingan terhadap produk barang, jasa, atau barang dan jasa yang sama (barrier to entry).

c. Pelaku usaha lain tersebut adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar yang bersangkutan;

d. Satu pelaku usaah atau satu kelompok usaha telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar dari suatu jenis produk barang atau jasa tertentu.

Dalam literatur, monopoli dilarang karena mengandung beberapa dampak negatif yang merugikan, antara lain :

a. Terjadi peningkatan harga suatu produk sebagai akibat tidak ada kompetisi dan persaingan bebas. Harga yang tinggi ini pada gilirannya akan menyebabkan inflasi yang merugikan masyarakat luas;

b. Pelaku usaha mendapat keuntungan diatas kewajaran yang normal;

c. Terjadi eksploitasi terhadap konsumen karena tidak ada hak pilih konsumen atas produk.

d. Terjadi keridakekonomisan dan ketidakefisienan yang dibebankan kepada konsumen dalam rangka menghasilkan suatu produk, karena perusahaan monopoli cenderung tidak beroperasi pada average cost yang minimum;

e. Ada entry barrier dimana perusahaan lain tidak dapat masuk kedalam bidang usaha perusahaan monopoli tersebut, kaena penguasaan pangsa pasar yang besar.

f. Pendapatan jadi tidak merata, karena sumber dana dan modal akan tersedot kedalam perusahaan monopoli.

Rabu, 04 Mei 2011

PERJANJIAN Dan PERIKATAN

SUMBER :

  • Neltje F. Katuuk. 1994. ASPEK HUKUM DALAM BISNIS. Jakarta : Universitas Gunadarma
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian

Perkataan “perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (pnrechtmatigedaad) dan perihal yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).

Pengertian Perjanjian

Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Pengertian Perikatan

Perikatan ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.

Pihak yang berhak menuntut --> kreditur

Pihak yang wajib memenuhi tuntutan --> debitur

Adapun sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa :

1) Menyerahkan suatu barang

2) Melakukan suatu perbuatan

3) Tidak melakukan suatu perbuatan

Apabila seseorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya, menurut bahasa hukum ia melakukan “wanprestasi” yang menyebabkan ia dapat digugat di depan hakim.

Dalam hukum berlaku suatu asas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Seorang berpiutang (Kreditur) yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang berhutang (debitur) yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantaraan pengadilan.

Tetapi sering terjadi bahwa debitur sendiri dari semula sudah memberikan persetujuannya, kalau ia sampai lalai, si kreditur berhak melaksanakan sendiri hak-haknya menurut perjanjian, dengan tak usah meminta perantaraan hakim. Ini telah kita lihat dalam hal pandrecht. Pelaksanaan yang dilakukan sendiri oleh seorang berpiutang (kreditur) dengan tidak tidak melewati hakim, dinamakan “parate executive”. Orang yang berhutang (debitur) dengan memberikan tanggungan gadai sejak semula telah memberikan izin kalau ia lalai, barang tanggungan boleh dijual oleh si berpiutang (kreditur) untuk pelunasan hutang dengan hasil penjualan itu. Begitu juga halnya dengan seorang pemberi hypotheek dengan “beding van eigenmachtige verkoop”.

Selasa, 29 Maret 2011

SUBYEK HUKUM BADAN

SUMBER : http://vco-milanisti.blogspot.com/2011/03/yang-termasuk-subjek-dan-objek-hukum.html

Badan hukum:
Terjadi banyak perdebatan mengenai bagaimana badan hukum dapat menjadi subyek hukum, dan memiliki sifat-sifat subyek hukum seperti manusia, nah Banyak sekali teori yang ada dan digunakan dalam dunia akademis untuk menjelaskan hal tersebut , akan tetapi menurut Salim HS, SH, Ms; Teori yang paling berpengaruh dalam hukum positif adalah teori konsensidimana pada intinya berpendapat badan hukum dalam negara tidak dapat memiliki kepribadian hukum (hak dan kewajiban dan harta kekayaan) kecuali di perkenankan oleh hukum dalam hal ini berarti negara sendiri, bingung yah? Namanya juga teori, tahu sendiri kan, kalau profesor ngomong asal aja bisa jadi teori.


Menurut sifatnya badan hukum ini dibagi menjadi dua yaitu :
  1. Badan hukum publik, yaitu badan hukum yang didirikan oleh pemerintah. Contohnya : Provinsi, kotapraja, lembaga-lembaga dan bank-bank negara
  2. Badan hukum privat, adalah badan hukum yang didirikan oleh privat (bukan pemerintah). Contohnya : Perhimpunan, Perseroan Terbatas, Firma, Koperasi, Yayasan.

Subyek dan Obyek Hukum

A. ORANG SEBAGAI SUBYEK HUKUM

Subyek hukum adalah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lau lintas hukum. Yang termasuk dalam pengertian subyek hukum ialah manusia atau orang (naturlijke person) dan badan hukum (vicht person), misalnya : PT, PN, Koperasi dan yang lain.

Berlakunya seseorang sebagai subyek hukum (pembawa hak) yaitu pada saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat orang tersebut meninggal.

Bahkan bila perlu demi kepentingan nya sebagai subyek hukum (pembawa hak) dapat dihitung Surut yaitu dimulai waktu masih berada dalam kandungan, akan tetapi pada saat dilahirkan orang tersebut dalam keadaan hidup.

Hal ini tentunya akan merupakan tanda tanya, mengapa ini penting untuk dibicarakan. Adapaun kegunaannya yaitu sehubungan dengan perihal warisan yang terbuka ketika seseorang tersebut masih berada dalam kandungan ibunya.

Perihal tiap-tiap orang dapat memiliki hak-hak menurut hukum tanpa kecuali, hal ini adalah benar, namun didalam hukum tidak semua orang diperkenankan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya tersebut.

Ada beberapa golongan yang oleh Undang-undang telah dinyatakan tidak cakap atau kurang cukup untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum itu. Mereka itu adalah :

1. Orang-orang yang belum dewasa atau masih dibawah umur

Oleh KUHP (BW) yang dimaksud orang yang belum dewasa (masih dibawah umur) ialah apabila seseorang belum mencapai 21 tahun. Kecuali bagi seseorang yang walaupun belum berusia 21 tahun tapi telah kawin (menikah), maka ia dianggap dewasa dan dapat melakukan sendiri perbuatan hukum itu. Dan apabila ia bercerai dibawah umur 21 tahun, maka ia dianggap sebagai orang yang masih dibawah umur lagi.

Dan bagi wanita yang telah menikah, menurut KUHP :

· Pada umumnya tidak diperkenankan bertindak sendiri didalam lalu lintas hukum, tetapi harus dibantu oleh suaminya.

· Dianggap kurang cakap untuk bertindak sendiri dalam hukum

Disamping itu, ada beberapa pasal dalam KUHP (BW) yang membedakan antara kecakapan pria dan wanita :

1) Wanita dapat kawin jika ia berusia 15 tahun dan pria 18 tahun.

2) Wanita tidak diperbolehkan kawin sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya diputuskan, sedang untuk pria tidak ada larangan.

3) Seorang pria baru dapat mengakui anaknya bila ia telah berusia paling minim 19 tahun, sedang wanita tidak ada batasan usia.

2. Orang-orang yang ada didalam pengawasan (Curatele) yang selalu harus diwakili oleh orangtuanya, walinya, atau kuratornya.

Diatas telah disebutkan bahwa disamping orang sebagai subyek hukum (pembawa hak), badan-badan hukum juga dapat memiliki hak-hak dan dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia.

B. OBYEK HUKUM

Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berada didalam pengaturan hukum dan dapat dimanfaatkan oleh subyek hukum berdasarkan hak/kewajiban yang dimilikinya atas obyek hukum yang bersangkutan. Jadi obyek hukum itu haruslah sesuatu yang pemanfaatannya diatur berdasarkan hukum. Contohnya : jual-beli, sewa-menyewa, waris-mewaris, perjanjian, dan sebagainya.

Senin, 21 Februari 2011

HUKUM PERDATA INDONESIA



Nama : Alfiyani Alfah Fauhan, NPM/Kelas : 21209863/2EB03. Tulisan ini mengenai pengertian hukum perdata dan mengenai hukum perdata di Indonesia.

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI#




Sumber :

v http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_perdata

v gatotsdiktat haki.doc-1.htm

v http://id.wikisource.org/wiki/Kitab_Undang-Undang_Hukum_Perdata

Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat.Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata.Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.

Hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana)

Hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain:

a) Sistem hukum Anglo-Saxon (Common Law) yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya termasuk negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat.

b) Sistem hukum Eropa Continental, sistem hukum yang diterapkan di daratan Eropa.

Sejarah Hukum Perdata

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)

Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M.KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :

1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda.

2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]

Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda

KUHPerdata

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata baratBelanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.

Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.

Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt.Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini.BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

Buku pertama mengatur tentang orang sebagai subyek hukum, hukum perkawinan dan hukum keluarga, termasuk waris.

Bab I - Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan

Bab II - Tentang akta-akta catatan sipil

Bab III - Tentang tempat tinggal atau domisili

Bab IV - Tentang perkawinan

Bab V - Tentang hak dan kewajiban suami-istri

Bab VI - Tentang harta-bersama menurut undang-undang dan pengurusannya

Bab VII - Tentang perjanjian kawin

Bab VIII - Tentang gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada perkawinan kedua atau selanjutnya

Bab IX - Tentang pemisahan harta-benda

Bab X - Tentang pembubaran perkawinan

Bab XI - Tentang pisah meja dan ranjang

Bab XII - Tentang keayahan dan asal keturunan anak-anak

Bab XIII - Tentang kekeluargaan sedarah dan semenda

Bab XIV - Tentang kekuasaan orang tua

Bab XIVA - Tentang penentuan, perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah

Bab XV - Tentang kebelumdewasaan dan perwalian

Bab XVI - Tentang pendewasaan

Bab XVII - Tentang pengampuan

Bab XVIII - Tentang ketidakhadiran

Buku kedua mengatur mengenai benda sebagai obyek hak manusia dan juga mengenai hak kebendaan.Benda dalam pengertian yang meluas merupakan segala sesuatu yang dapat dihaki (dimiliki) oleh seseorang.Sedangkan maksud dari hak kebendaan adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan kepada pihak ketiga. Buku kedua tentang benda pada saat ini telah banyak berkurang, yaitu dengan telah diaturnya secara terpisah hal-hal yang berkaitan dengan benda (misal dengan Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Undang-undang N0. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan . Dalam hal telah diatur secara terpisah oleh suatu peraturan perundang-undangan maka dianggap pengaturan mengenai benda didalam BW dianggap tidak berlaku.

Bab I - Tentang barang dan pembagiannya

Bab II - Tentang besit dan hak-hak yang timbul karenanya

Bab III - Tentang hak milik

Bab IV - Tentang hak dan kewajiban antara para pemilik pekarangan yang bertetangga

Bab V - Tentang kerja rodi

Bab VI - Tentang pengabdian pekarangan

Bab VII - Tentang hak numpang karang

Bab VIII - Tentang hak guna usaha (erfpacht)

Bab IX - Tentang bunga tanah dan sepersepuluhan

Bab X - Tentang hak pakai hasil

Bab XI - Tentang hak pakai dan hak mendiami

Bab XII - Tentang pewarisan karena kematian

Bab XIII - Tentang surat wasiat

Bab XIV - Tentang pelaksana surat wasiat dan pengelola harta peninggalan

Bab XV - Tentang hak berpikir dan hak istimewa untuk merinci harta peninggalan

Bab XVI - Tentang hal menerima dan menolak warisan

Bab XVII - Tentang pemisahan harta peninggalan

Bab XVIII - Tentang harta peninggalan yang tak terurus

Bab XIX - Tentang piutang dengan hak didahulukan

Bab XX - Tentang gadai

Bab XXI - Tentang hipotek

Buku mengatur tentang perikatan (verbintenis).Maksud penggunaan kata “Perikatan” disini lebih luas dari pada kata perjanjian. Perikatan ada yang bersumber dari perjanjian namun ada pula yang bersumber dari suatu perbuatan hukum baik perbuatan hukum yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) maupun yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming). Buku ketiga tentang perikatan ini mengatur tentang hak dan kewajiban yang terbit dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan peristiwa-peristiwa lain yang menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan.

Buku ketiga bersifat tambahan (aanvulend recht), atau sering juga disebut sifat terbuka, sehingga terhadap beberapa ketentuan, apabila disepekati secara bersama oleh para pihak maka mereka dapat mengatur secara berbeda dibandingkan apa yang diatur didalam BW. Sampai saat ini tidak terdapat suatu kesepakatan bersama mengenai aturan mana saja yang dapat disimpangi dan aturan mana yang tidak dapat disimpangi. Namun demikian, secara logis yang dapat disimpangi adalah aturan-aturan yang mengatur secara khusus (misal : waktu pengalihan barang dalam jual-beli, eksekusi terlebih dahulu harga penjamin ketimbang harta si berhutang). Sedangkan aturan umum tidak dapat disimpangi (misal : syarat sahnya perjanjian, syarat pembatalan perjanjian).

Bab I - Tentang perikatan pada umumnya

Bab II - Tentang perikatan yang lahir dari kontrak atau persetujuan

Bab III - Tentang perikatan yang lahir karena undang-undang

Bab IV - Tentang hapusnya perikatan

Bab V - Tentang jual-beli

Bab VI - Tentang tukar-menukar

Bab VII - Tentang sewa-menyewa

Bab VIIA - Tentang perjanjian kerja

Bab VIII - Tentang perseroan perdata (persekutuan perdata)

Bab IX - Tentang badan hukum

Bab X - Tentang penghibahan

Bab XI - Tentang penitipan barang

Bab XII - Tentang pinjam-pakai

Bab XIII - Tentang pinjam pakai habis (verbruiklening)

Bab XIV - Tentang bunga tetap atau bunga abadi

Bab XV - Tentang persetujuan untung-untungan

Bab XVI - Tentang pemberian kuasa

Bab XVII - Tentang penanggung

Bab XVIII - Tentang perdamaian

Buku keempat mengatur tentang pembuktian dan daluwarsa.Hukum tentang pembuktian tidak saja diatur dalam hukum acara (Herzine Indonesisch Reglement / HIR) namun juga diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Didalam buku keempat ini diatur mengenai prinsip umum tentang pembuktian dan juga mengenai alat-alat bukti. Dikenal adanya 5 macam alat bukti yaitu :

a. Surat-surat

b. Kesaksian

c. Persangkaan

d. Pengakuan

e. Sumpah

Daluwarsa (lewat waktu) berkaitan dengan adanya jangka waktu tertentu yang dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak milik (acquisitive verjaring) atau juga karena lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum (inquisitive verjaring). Selain itu diatur juga hal-hal mengenai “pelepasan hak” atau “rechtsverwerking” yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.

Bab I - Tentang pembuktian pada umumnya

Bab II - Tentang pembuktian dengan tulisan

Bab III - Tentang pembuktian dengan saksi-saksi

Bab IV - Tentang persangkaan

Bab V - Tentang pengakuan

Bab VI - Tentang sumpah di hadapan hakim

Bab VII - Tentang kedaluwarsa pada umumnya